|
Buah apel yang merah nan ranum |
Ayam jantan dengan gagahnya telah berkokok pertanda di ujung timur matahari telah terbit secercah cahaya harapan yang telah memberi banyak kehidupan di bumi. Angin berhembus Sepoi-sepoi menggoyangkan pepohonan.
Embun di pagi buta dengan suasana yang dingin, sejuk nan asri melengkapi pagi sang anak petani miskin di sudut desa yang terpencil.
Tak ada listrik di desa ini, hanya ada sawah tempat padi tumbuh yang terlihat menguning pertanda telah siap panen. Hamparan gunung dengan kokohnya, suara percikan aliran air sungai yang mengalir dari puncak gunung ke Sawah-sawah para petani tanda penyambung hidup di setiap lini kehidupan.
Ada juga para petani dengan cangkul dan sabitnya, para pengembala kerbau dengan topi penghalang panas khas dari bambu lengkap dengan cambuknya. Anak petani tersebut bernama Samudra.
Setiap hari ia mengisi waktu luangnya dengan mengembalakan kerbau milik tetangganya di hamparan padang savana dekat dengan gunung tempatnya di tempa selama ia hidup. Samudra memberi nama peliharaannya dengan nama tedong, yang artinya kerbau.
Yah, kerbau jantan yang selama ini hanya berdua dengan tuannya memakan rerumputan dan meminum air dari dasar sungai yang jernih dekat pegunungan itu. Sesekali Samudra membawa kerbaunya berenang di dalam jernihnya air sungai yang dingin. Mereka tampak bahagia sekali setiap harinya bermain dengan kerbau peliharaannya.
Tapi, takdir berkata lain, nasib sial harus di tanggung sang kerbau. Kepalanya hampir putus di terkam sang Raja hutan yang haus akan daging dan darah. Kerbau pun tak tertolong tergeletak tak berdaya di kerumuni sang raja rimba tersebut.
Betapa hancur hati Samudra ketika melihat sang peliharaan mati mengenaskan meninggalkan tulang dan kenangan yang selama ini telah mengisi hari-harinya. Rumput yang ia bawapun langsung terjatuh dari tangan kasarnya, hatinya retak hancur berkeping-keping.
Tiada lagi kehangatan antar mereka berdua selama ini. Benih-benih rasa sakit hatipun mulai tumbuh dihatinya, ketika ia memungut tulang dan tali yang masih melingkar di lehe peliharaannya. Tinggal kepala kerbau yang kini ia punya, kecewa dan marah menyelimuti perasaan samudra.
Ia menagis sejadi-jadinya, berteriak hingga Burung-burung yang sedang bertengger di pohon terbang Setinggi-tingginya. Kini tak ada lagi si tedong kerbau kesayangannya.
Ia pun mulai menggendong kepala kerbaunya dari padang savana ke desanya. Saat di perjalanan orang-orang terus menatapnya sedang bersedih dan terus meneteskan air mata.
Orang-orang mulai menganggapnya telah gila karena membawa bangkai kepala kerbau. Ssesampainya di desanya, Orang-orang menutup hidungnya dan menatap sinis kepadanya dan menjauhkan Anak-anak mereka terhadapnya.
"Dasar orang gila pergi engkau dari desa ini, tidak yang membutuhkan orang gila seperti engkau," ucap salah satu tetangganya.
Tapi semua itu nampak tak di dengar oleh Samudra, ia tetap melangkahkan kakinya ke rumahnya. Sesekali badannya pun di hinggapi lalat akibat bangkai dari kepala kerbaunya yang sudah mulai busuk.
Sesampainya ia di rumahnya yang tak layak disebut rumah, yah gubuknya yang sudah lapuk di makan usia, atapnya yang terbuat dari daun sagu yang sudah hancur di terpa panasnya terik mentari dan kerasnya jatuhnya air hujan.
Dindingnya rumahnya terbuat dari anyaman bambu telah habis di makan rayap. Ia berhenti di terasnya yang beralaskan tanah yang becek akibat hujan yang sudah lama mengguyur rumahnya. Ia pun duduk di teras rumah meletakkan bangkai kepala kerbaunya yang ia sendiri tak tau mau dia apakan.
Sudah 1 minggu ia disana, aroma busuk semakin menyengat dari bangkai kepala kerbaunya. Akibatnya tetangganya pun makin marah sejadi-jadinya dan tak tahan lagi ingin mengusirnya dari desa itu.
Betapa kaget Ayahnya melihat anaknya telah menjadi gila. Bukannya apa, Ayahnya sudah tua rentah nan lelah bekerja di sawah milik tetangganya sebulan lamanya pulang kerumahnya dengan hadiah anaknya telah menjadi gila. Ibu Samudra sudah telah lama tiada, tinggallah mereka berdua di gubuk yang reot itu.
"Anakku kenapa engkau seperti ini, sudah buang saja kepala kerbau itu, itu hanya membuat hatimu semakin terluka dan sengsara,''
Tapi samudra hanya diam membisu, membusuk dan menghayal bagai telah kemasukan 1000 jenis setan dalam tubuhnya.
Lantas ayahnya menyarankan kepada samudra.
"Kalau engkau memang tak mau membuang kenanganmu, kenapa engkau tak kubur saja, engkau masih bisa mengunjunginya, masih bisa mengingat kenangan manisnya,".
Tiba-tiba tanpa di sadari Samudra berdiri dari tempat duduknya, sudah seminggu lamanya ia duduk. Ia lalu berjalan membawa bangkai kepala kerbaunya tanpa arah meninggalkan Ayahnya tanpa sepatah katapun.
Ia berjalan seolah-olah yang menggerakkan kakinya adalah setan yang bersemayam di dalam tubuhnya. Sudah 5 hari lamanya ia berjalan di bawah teriknnya sinar mentari, dan dinginnya malam. Ia terus berjalan tanpa merasakan lapar, haus dan kantuk. Seolah-olah ia adalah manusia super tahan akan jenis cuaca manapun.
Tiba-tiba entah kenapa langkahnya terhenti di bawah rimbunnya dedaunan pohon. Pohon itu ialah pohon apel merah yang lebat daunnya. Batang pohonnya pun agak besar dan buahnya yang banyak dan memerah. Ia berhenti dan duduk di bawahnya sambil membawa tulang belulang kepala kerbaunya.
Tanpa pikir panjang ia lalu mengais tanah dengan tangan kotornya yang kasar dan penuh akan dosa, lalu mengubur Sisa-sisa tulang kepala kerbaunya di bawah pohon apel merah tersebut lalu menimbunnya kembali.
"Sampai disini wahai kerbauku yang malang, cukup sudah kau telah membuatku gila seperti ini. Aku harus memulai dari awal lagi membuka lembaran baru di kehidupanku nantinya, tapi engkau jangan khawatir aku masih ingat perkataan Ayahku yang tua itu. Aku akan terus mengingat kenangan kita bersama, akan kusisihkan ruang di hatiku untukmu. Jangan khawatir kerbauku yang malang,".
Perasaan lega di rasakan oleh Samudra, tak seperti biasanya waktu ia masih gila. Sekarang ia merasakan kantuk dan lapar yang sangat hebat. Ia mengadah keatas pohon apel merah, dilihatnya buah apel warnanya memerah tersebut nan ranum. Air liurnya keluar, ia mulai di kuasai nafsu tak tahan untuk memakannya. Seoalah-olah setan berkata :
"Ambillah satu buah apel tersebut, lalu makanlah engkau sudah lama tidak makan," ungkap setan dengan penuh licik di wajahnya.
Dilain sisi telinga kanannya mendengarkan sesuatu yang amat baik untuk di dengar. Rupanya ia adalah malaikat yang sangat baik, seolah berkataa:
"Jangan engkau makan makanan yang tidak elok untukmu, karena makanan itu akan menjadi cacing di perutmu, engkau malah menambah banyak dosamu selama ini," ungkap sang malaikat dengan senyum yang memelas di wajahnya.
Rupanya iman Samudra tak cukup kuat, kali ini ia terjebak oleh rayuan setan jahannam itu. Ia lantas memanjat buah apel tersebut dan meruntuhkan semua buah yang ada di pohonnya. Tak satupun buah apel yang kini tertinggal di atas pohon.
Tak tunggu lama semua apel tersebut di makannya layaknya, seekor singa yang telah melahap kerbaunya. Ia rakus, menjijikkan dan tak kenal lelah mengunyah, mengunyah dan terus mengunyah sampai semua apel habis di makannya.
Akhirnya ia pun tertidur pulas setelah kekenyangan memakan semua buah apel tersebut. Saat ia terbangun ia terkejut melihat seorang pria tua yang sedang duduk menangis di bawah pohon apel tersebut.
"Wahai pak tua sedang apa engkau disini, kenapa engkau meneteskan air mata yang telah membasahi wajahmu," tanya samudra melihat ke arah pak tua.
lantas pak tua tadi kembali bertanya?
"Anak muda sedang apa kau disini, kenapa aku melihat pohon apel yang akan aku panen buahnya habis tak tersisa, kecuali seorang anak muda yang sedang tidur lalu bangun melontarkan pertanyaan kepada pemilik pohon apel ini. Wajar saja jika aku bingung dan meneteskan air mataku, sudah setahun lamanya aku merawat pohon apel ini, menanti buahnya ranum untuk aku jual ke Desa seberang karena buah apel inilah yang nanti jadi sumber kehidupanku bersama anakku," jawabnya dengan terisak sedih.
Mendengar jawaban pak tua, timbul rasa kecewa yang amat dalam pada hati Samudra, ia hanya duduk terdiam dan membisu. Betapa bodohnya ia memakan buah apel orang lain tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pemiliknya.
Tampak sesekali samudra melihat ke arah pak tua tadi yang telah kehilangan asanya, kehilangan semangatnya, kehilangan kekuatannya bahkan kehilangan sumber kehidupannya selama ini. Bisa saja pak tua tadi tewas karena kekuatan pada buah apelnya sudah lenyap dalam perut samudra.
Samudra mendekati pak tua tadi dan menawarkan sebuah solusi pemecahan masalahnya.
"Pak tua aku tak memiliki apa-apa untuk mengganti semua buah apelmu yang telah aku makan. Seandainya aku punya kekuatan maka aku akan tumbuhkan buah apel itu lagi dari pohonnya dengan sekejap, namun aku hanyalah laki-laki biasa yang tak berguna. Aku telah meninggalkan keluargaku, kini aku tak punya Siapa-siapa lagi selain diriku seorang. Oleh karena itu aku menawarkan padamu ragaku, aku menawarkan padamu semangatku dan kekuatan Otot-ototku ini padamu," ucap Samudra.
Pak tua Terheran-heran mendengar solusi yang di tawarkan Samudra padanya.
"Apakah engkau tulus akan menyerahkan ragamu sepenuhnya padaku, kalau begitu pulanglah bersamaku bekerjalah untukku tapi aku memiliki sebuah syarat yang harus engkau penuhi. Aku memiliki Seorang anak perempuan yang tak dapat melihat, orang menyebutnya buta. Tak dapat berbicara, orang menyebutnya bisu dan tak dapat mendengar, orang menyebutnya tuli," ucap pak tua.
Mendengar perkataan tersebut, Samudra yang seolah akan membantu pak tua tadi jadi gelisah dan bingung. Dari raut mukanya, ia bagai orang yang sedang sakit, mukanya pucat, badannya gemetar dan ia berkeringat disekujur tubuhnya.
Jauh di dalam lubuk hatinya terbesit keinginan untuk membantu pak tua, namun juga tak ingin menikahi anaknya dengan segala kekurangannya.
Setelah berfikir agak panjang dengan penuh kesabaran, ia memutuskan untuk menikahi anak pak tua tadi.
"Ia pak saya bersedia menikahi putri bapak, lebih baik aku menikahi putri bapak dengan segala kekurangannya daripada aku harus menikahi wanita yang tak mempunyai kekurangan, tapi hanya akan membuatku terluka dan tersakiti,".
Tiba-tiba pak tua lalu memeluk Samudra dengan sangat kencang.
"Terimah kasih anak muda, ayo ikut denganku kerumahku yang sederhana. Aku sendiri yang akan menikahkan engkau dengan putri tercintaku,"
Lalu mereka berdua bergegas pulang ke tempat kediaman sang putri berada. Dalam perjalanan mereka saling berbagi kisah satu sama lain. Sudah 2 hari lamanya mereka berjalan. Memang rumah pak tua agak jauh, wajar saja jika mereka kelelahan. Di hari ke 3 mereka telah sampai di rumah.
Pak tua mempersilahkan Samudra masuk ke rumahnya.
Pak tua lalu mandi dan membersihkan tubuhnya dan bersiap menikahkan mereka berdua. Usai pak tua mandi, ia lalu memakai bajunya yang paling bersih dan memanggil Samudra ke ruang tamu dan akan menikahkan mereka.
Rupanya para tetangga juga telah berkumpul untuk menyaksikan pernikahan antara Samudra dengan anak pak tua.
Ruang tamu telah di penuhi oleh para saksi pernikahan yang akan menjadi saksi janji sehidup semati ini. Setelah semua beres pak tua memasuki ruang tamu dan menjabat tangan samudra.
Usai semua rangkaian ijab qabul telah di ucapkan dan para saksi mengucapkan sah tanda resminya pernikahan mereka berdua, maka di panggillah sang anak pak tua tadi keluar ruangan.
"Bella silahkan nak kamu boleh keluar, kini kamu telah sah menjadi seorang isteri dari anak muda yang baik hati ini," tutur pak tua.
Nama anak pak tua ialah Bella.
Ketika Bella keluar dari kamarnya menuju ruangan tempat di gelarnya akad, sontak membuat semua yang hadir kala itu terdiam tak terkecuali Samudra. Ruangan sangat hening, bahkan bunyi detak jantung pun dapat terdengar.
Siapa sangkah ternyata Bella sangatlah cantik jelita, tak nampak ia sulit mendengar ataupun tuli. Kalau memang ia tuli, ia tak akan mendengar suara ayahnya. Penglihatannya pun amat bagus. Bahkan saat ia melangkah, ia tak tersandung. Ini membuktikan bahwa ia tidak buta. Indah parasnya bahkan meluluhkan hati lelaki manapun yang menatapnya.
"Apakah engkau Samudra, mengapa engkau diam, sekarang aku telah sah menjadi istrimu. Aku telah menjadi bagian dari tulang rusukmu yang hilang, apakah engkau siap menafkahiku dan Anak-anak kita kelak," ucap Bella dengan suara yang lembut.
Samudra hanya diam dan bertanya-tanya apakah karena buah apel merah yang ia makan, ia bisa mendapat wanita yang bisa di bilang jelmaan bidadari dari surga.
"Bella, aku kira engkau tak dapat melihatku, mendengarku dan aku kira engkau juga bisu. Tapi kenapa semua yang dikatakan ayahmu bohong. Apakah ini hanya mimpi Bella, kalau ia tolong jangan bangunkan aku biar aku bisa Berlama-lama denganmu," Samudra kebingungan.
"Tenang Samudra engkau bisa Berlama-lama denganku, sebab aku telah menjadi istrimu. Ini bukan mimpi, kamu jangan heran begitu melihatku. Apa yang di katakan ayahku itu semua benar Samudra. Engkau hanya bisa melihat dengan mata dunia tapi tidak dengan hatimu. Pakai mata hatimu untuk melihatku," kata Bella menatap suami barunya.
Bella menjelaskan arti dari perkataan Ayahnya.
"Samudra aku ini buta, buta dari melihat segala hal yang di benci oleh Allah SWT. Aku ini bisu, bisu terhadap apa telah di haramkan oleh Allah SWT untuk di bicarakan oleh makhluknya. Aku ini tuli, tuli untuk tidak mendengar sesuatu yang haram untuk di dengar oleh manusia. Haram untuk di dengar lalu disampaikan kepada makhluknya. Karena segala urusan yang ada di dunia ini sudah ada yang mengatur Samudra.
Bersambung.......
Be social.
Like, coment and share.